SELAMAT DATANG DI BLOG DBH SDA. TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA.....MOHON PERHATIAN JANGAN DI KLIK YA !!!!!.... BOOMING BATUBARA DALAM INDUSTRI TEKSTIL ~ DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM

Senin, 02 Maret 2009

BOOMING BATUBARA DALAM INDUSTRI TEKSTIL

Batubara merupakan salah satu sumberdaya energi yang dimiliki oleh Indonesia selain minyak bumi dan gas alam. Batubara sudah sejak lama digunakan, terutama untuk kegiatan produksi pada industri semen dan pembangkit listrik. Batubara sebagai energi alternatif mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga dapat menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM) dalam kegiatan produksi untuk industri tersebut. Apalagi beberapa tahun terakhir ini harga BBM terus mengalami kenaikan dan hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh pelaku ekonomi di Indonesia. Salah satu industri yang mengalami hal tersebut adalah industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, karena industri ini sangat tergantung pada bahan bakar solar atau residu untuk kegiatan produksinya. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya produksi, sehingga mempengaruhi pula harga penjualan produk. Sebagian dari mereka mengalami kebangkrutan kerena tidak mampu menutupi tingginya biaya produksi dan kalaupun mampu bertahan, mereka harus bersaing dengan produk-produk luar negeri, seperti Cina yang harganya jauh lebih murah. Dalam dua tahun terakhir ini telah terjadi perubahan penggunaan energi yang begitu cepat, dimana batubara mulai dilirik oleh industri tekstil sebagai bahan bakar dalam proses produksinya. Beberapa perusahaan di antaranya telah mulai beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dan hal ini ternyata sangat efektif dalam menekan biaya produksi. Untuk saat ini, pemasokan batubara ke beberapa industri tekstil masih tampak lancar. Akan tetapi, apabila seluruh perusahaan tekstil di Propinsi Jawa Barat telah menggunakan batubara, maka kelancaran pemasokan kebutuhan harus tetap terjaga ketersediaannya. Selain jaminan pemasokan batubara, sarana transportasi seperti jalan dan kendaraan sangat mempengaruhi kelancaran pengiriman batubara di masa mendatang sehingga harus diantisipasi sejak dini.
Potensi sumber daya batubara Indonesia diperkirakan mencapai 57,85 miliar ton. Jumlah tersebut terdiri dari 20,53 miliar ton dikategorikan sebagai yang terindikasi (indicated) dan 12,47 miliar ton termasuk kategori sumber daya yang terukur (measured). Sebanyak 6,98 miliar ton di antaranya termasuk ke dalam kategori cadangan (reserve) yang siap tambang (mineable).
Sekitar 52,15% cadangan batubara Indonesia tersebar di Kalimantan, 47,35% tersebar di Sumatera dan sisanya terdapat di Jawa, Sulawesi dan Papua, itupun masih termasuk kategori sumber daya (terukur dan terindikasi).


Industri Tekstil di Wilayah Bandung
Di Wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah, yaitu di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Di Kabupaten Bandung industri tekstil terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu wilayah timur (sepanjang Jalan Cileunyi–Cicalengka), wilayah tengah (sepanjang Jalan Mohammad Toha–Dayeuhkolot–Majalaya), dan wilayah barat (sekitar Nanjung dan Padalarang). Di Kota Cimahi, lokasi industri tekstil terkonsentrasi di sekitar Leuwigajah. Untuk wilayah Kota Bandung penyebaran industri tekstil berbeda dengan penyebaran dengan Kabupaten Bandung maupun Kota Cimahi. Di Kota Bandung, penyebarannya cenderung tidak terkonsentrasi dalam satu sentra.
Sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk boiler industri tekstil adalah bahan bakar minyak (solar atau residu) dan hanya sebagian kecil perusahaan yang sudah menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada boiler. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bandung, pada tahun 2003 di wilayah Bandung tercatat ada sebanyak 18 perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan kebutuhan sebesar 274.163 ton. Hingga tahun 2004, bertambah sebanyak 20 perusahaan tekstil yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk boilernya. Pemakaian batubara hingga bulan Juni tahun 2004 tercatat sebesar 245.364 ton. Tercatat 7 perusahaan yang paling banyak menggunakan batubara yaitu PT. Kahatex, PT. Panasia Filamen Inti, PT. Ayoe Taihotex, PT. Bintang Agung, PT. Central Georgete Nusantara, Dewasuteratex dan PT. Trisulatex.
Pemasokan batubara dan kendalanya
Batubara yang dikirim dari Kalimantan sebagian ditampung di tempat penyimpanan di sekitar pelabuhan Cirebon dan di seklitar jalan raya Losari dengan kapasitas yang bervariasi antara 3.000–5.000 ton. Lokasi ini berdekatan dengan gerbang tol Kanci sehingga mempermudah pengiriman batubara ke luar daerah. Pada saat ini, pasokan batubara ke pelabuhan Cirebon tercatat sebesar 150.000 ton per bulan.
Sebagian besar perusahaan tekstil membeli batubara secara langsung ke agen-agen penyedia batubara di wilayah Cirebon, harganya berkisar antara Rp.300.000– Rp.400.000 per ton sampai di tempat tujuan. Batubara itu sendiri sebagian besar di produksi oleh PT. Arutmin, PT. Adaro dan Koperasi Unit Desa, di Kalimantan Selatan dengan kualitas yang diterima di lokasi pemakai berkisar antara 5400-6600 kkal/kg. Untuk menjaga kelangsungan produksi tekstil, biasanya setiap perusahaan menyediakan batubara antara 40-500 ton untuk 2-12 hari jika musim penghujan tiba. Musim hujan tersebut berpengaruh langsung terhadap tingkat produksi batubara, baik dalam operasi penggalian maupun pengangkutannya di daerah tambang, sehingga pasokan dari tambang ke Cirebon sering mengalami keterlambatan. Selain itu juga seringa terjadi gangguan pada jalur pengangkutan batubara dari Cirebon ke pemasok, hingga ke konsumen (industri tekstil).
Padatnya jalur lalulintas Cirebon-Bandung merupakan faktor tambahan bagi keterlambatan pasokan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko gangguan pasokan dapat dilakukan melalui peningkatan cadangan dan pembangunan stockyard di wilayah Bandung dan sekitarnya. Stockyard tersebut harus mampu memasok semua konsumennya di wilayah Bandung dan sekitarnya. Keterlambatan pasokan dari lokasi tambang ke pelabuhan Cirebon pada musim hujan sekitar 2 minggu. Dengan demikian, cadangan di stockyard Bandung harus mampu menopang operasi boiler minimal selama 2 minggu. Jumlah minimal cadangan batubara di stockyard tersebut adalah 19.208 ton, untuk mengangkut batubara adalah truk dengan kapasitas 25-30 ton.
Pada umumnya industri tekstil yang telah memanfaatkan batubara tidak terlepas dari kekhawatiran mengenai pemasokan batubara dan masalah lingkungan. Jika di masa mendatang semua industri tekstil di Bandung menggunakan batubara maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan dalam pemasokan batubara dan juga transportasinya. Berkaitan dengan masalah lingkungan adalah abu dasar (bottom ash) dari hasil pembakaran batubara. Perusahaan mengalami kesulitan untuk membuang abu batubara tersebut mengingat tidak tersedianya lokasi-lokasi tempat pembuangan.
Rekayasa Jalur Transportasi Batubara
Dengan semakin padatnya jalur transportasi Cirebon, Sumedang, Bandung menyebabkan truk pengangkut batubara mengalami kesulitan dalam pengirimannya. Oleh karena itu, dicari beberapa jalur alternatif untuk menentukan jalur yang paling sesuai untuk dilalui :
1) Jalur Cirebon-Sumedang-Jalan Cagak-Bandung
Panjang jalur ini 156 Km melalui daerah pegunungan sehingga jalan yang dilalui berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan. Meskipun demikian, jalur dari Cirebon sampai Jalan Cagak dapat dilalui oleh truk tronton pengangkut batubara dengan mudah. Masalah terbesar adalah jalur Jalan Cagak sampai Bandung, karena jalur ini harus melalui tanjakan Emen, yaitu tanjakan terpanjang dan tertinggi yang membentang dari Ciater sampai simpang tiga ke arah Tangkuban Perahu. Truk tronton dengan muatan penuh 25 ton batubara tidak akan mampu melalui tanjakan ini. Oleh karena itu, jalur alternatif ini tidak dapat dipilih untuk menggantikan jalur yang telah ada.
2) Jalur Cirebon-Indramayu-Pamanukan-Subang-Bandung
Panjang jalur ini 207 Km, jauh lebih panjang dari jalur alternatif sebelumya. Jalur dari Cirebon–Indramayu–Pamanukan merupakan bagian dari jalur pantura, sehingga jalannya relatif datar dan luas. Demikian pula jalur dari Pamanukan–Subang relatif datar sehingga tronton dengan mudah melaluinya. Namun karena jalur yang tersisa yaitu Subang–Bandung harus melalui tanjakan Emen, maka tronton bermuatan penuh batubara tidak akan mampu melewatinya. Dengan demikian, jalur alternatif ini tidak layak untuk dipilih untuk menggantikan jalur yang telah ada.

3) Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung
Jalur ini jauh lebih panjang dari jalur yang telah ada, yaitu 231 Km. Pada jalur ini pengangkutan batubara tidak menggunakan truk tronton, namun menggunakan kereta api. Alternatif ini dimunculkan, karena selama ini telah tersedia jaringan rel kereta api antara Cirebon–Cikampek–Bandung. Bila jalur ini dapat digunakan, maka pengangkutan batubara akan menjadi lebih mudah. Pengangkutan batubara dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : batubara dari tongkang dibongkar ke atas truk, selanjutnya truk bergerak menuju stasiun kereta api di pelabuhan. Batubara dari atas truk dipindahkan ke atas gerbong, selanjutnya diangkut ke Bandung melalui Cikampek. Stasiun batubara yang dipilih di Bandung adalah stasiun Gedebage. Biaya pengiriman batubara dengan menggunakan kereta api melalui Cikampek sebesar Rp. 55.000,00 per ton.

4) Jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong
Jalur ini merupakan jalur transportasi terpanjang dengan menggunakan truk, yaitu 230 Km melalui jalur selatan. Jalur yang dilalui adalah dari Cirebon menuju Cikijing (Kab. Kuningan), terus ke arah Kawali (Kab. Ciamis) dan menuju ke Kota Ciamis sehingga menembus jalur selatan Jawa. Selanjutnya mengikuti jalur selatan ini menuju ke Bandung.
Selain panjang, jalur ini juga melewati daerah pebukitan dengan banyak kelokan dan tanjakan, terutama di daerah Panawangan (Kab. Ciamis), Malangbong (Kab. Garut), dan Nagreg (Kab. Bandung). Oleh karena itu waktu yang diperlukan menjadi lebih besar dari jalur Cirebon-Sumedang-Bandung yang panjangnya sekitar 128 Km dengan waktu tempuh 6 jam. Tranportasi lewat jalur selatan akan memerlukan waktu tempuh antara 10–12 jam, sehingga konsekuensi penggunaan jalur ini adalah meningkatnya waktu tempuh antara 4-6 jam dan biaya transportasi.
Harga batubara melalui jalur Selatan ini menjadi berkisar antara Rp. 300.000 - Rp 450.000 per ton, namun demikian harga ini masih tetap lebih ekonomis daripada harga BBM untuk operasi boiler tekstil.

5) Jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung
Analisis pada jalur ini didasarkan pada asumsi bahwa rencana pembangunan jalan tol Cileunyi–Cimalaka dapat segera diwujudkan. Oleh karena itu dengan melalui jalur ini, truk pengangkut batubara dapat memperkecil jarak angkut dari 128 Km menjadi 113 Km. Selain menghemat waktu dan jarak angkut, jalur ini tidak melewati dua titik rawan longsor di Sumedang, yaitu Cadas Pangeran dan Nyalindung. Di samping itu, juga tidak dijumpai tanjakan-tanjakan yang panjang dan tinggi, seperti Malangbong dan Emen, sehingga biaya transportasi batubara lewat jalur ini menjadi sekitar Rp 40.000,-/ton.
Dari ke lima jalur alternatif tersebut, ternyata hanya ada 3 jalur yang layak sebagai jalur transportasi pengiriman batubara, yaitu Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung, jalur Cirebon-Cikajang-kawali-Ciamis-Malangbong dan jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung.

Permasalahan Lain

Proses penyediaan dan pemanfaatan batubara untuk boiler dalam industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, bukanlah suatu hal yang mudah dan sederhana, sehingga memerlukan penanganan yang khusus mengingat berbagai hal yang dapat menimbulkan permasalahan. Berdasarkan hasil analisis di lapangan, terdapat beberapa permasalahan yang mungkin timbul mulai dari pemesanan hingga pengirimannya, antara lain :
 Kedatangan batubara di Pelabuhan Cirebon, akan menyebabkan terjadinya pembongkaran batubara. Jika telah banyak batubara yang dibutuhkan, maka bukan tidak mungkin kapal pengangkut batubara (tongkang) akan semakin banyak jumlahnya merapat di pelabuhan ini. Akibat dari peristiwa ini akan menyebabkan antrian dari tongkang-tongkang yang akan melakukan pembongkaran. Untuk menanggulangi kemungkinan tersebut, maka sebaiknya instansi yang terkait meningkatkan kapasitas bongkar dan meningkatkan kapasitas sandar pelabuhan.
 Terbatasnya jalur transportasi pengiriman batubara menyebabkan kemacetan/tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Penanganannya adalah dengan menyediakan jalur-jalur alternatif yang dapat memperlancar pengiriman batubara. Konsekuensi yang dihadapi adalah bertambahnya biaya pengangkutan.
 Keterbatasan lahan penyediaan batubara di setiap perusahaan tekstil menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dalam penyimpanannya. Salah satu alternatif penanggulannya adalah dengan membuat atau mendirikan sentra-sentra penyediaan batubara yang berdekatan dengan lokasi penyebaran industri tekstil.
 Meningkatnya permintaan batubara akan menyebabkan kesulitan dalam penyimpanannya. Penanggulannya adalah dengan menentukan lahan penyimpanan yang sesuai dengan lokasi penyebaran industri tekstil berdasarkan luas, lokasi serta memperhatikan masalah-masalah lingkungan.
 Kualitas batubara sangat berpengaruh terhadap daya tahan (life time) peralatan (boiler) yang digunakan. Konsekuensinya adalah kerusakan pada boiler dan penurunan kapasitas. Penanganannya adalah dengan memilih/membeli batubara sesuai dengan spesifikasinya.
 Proses pembakaran menjadi penyebab tingkat pencemaran udara (gas, debu dan abu). Konsekuensinya adalah melampaui kadar abu yang diijinkan (masalah lingkungan). Pananganannya dengan melakukan pengawasan yang ketat terjadap kegiatan industri tekstil oleh badan yang berwenang.
Triswan Suseno, Sujarwo dan Jafril
Penulis adalah Peneliti dan Perekayasa di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
Triswan@tekMIRA.esdm.go.id

Tidak ada komentar: