SELAMAT DATANG DI BLOG DBH SDA. TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA.....MOHON PERHATIAN JANGAN DI KLIK YA !!!!!.... Maret 2009 ~ DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM

Senin, 02 Maret 2009

REGULASI PANAS BUMI DALAM ERA OTONOMI

Dr Sjafra Dwipa & Janes Simanjuntak, MT
Subdit. Panas Bumi

ABSTRACT

Geothermal energy is renewable, environmentally friendly natural resources represent big potential which owned by Indonesia, representing geothermal potential as the biggest in the world that is around 40% from world reserve or around 27 Gwe or equivalent by 11 Billion BOE to 30 year operation. Exploiting of geothermal energy for electrics in this time still 787 Mwe is very low, that is about 3-4 % from totalizing usage of electrics capacities in Indonesia.
Policy of public on national energy (KUBE) specified by Government of year 1998 consisting of five strategy those are intensification, diversification conservation, indexations and price of energy where consisting of Master plan on National energy conservation (RIKEN, 1995) and Master Plan on Exploiting of New Energy and Newly (RIPEBAT, 1997). Besides related also whith policy development of national electricity according to law No. 20/2002, and in line with policy of regional administration autonomy in Law No. 22/1999, Law No. 25/1999 and PP No. 25 about Government and Province Policy as anonymous regional administration.
Presendential’s decree No. 76/2000 is regulation concerning the geothermal exploitation replacing decrees No. 45/1991 and 49/1991 regarding the Income Tax Value Added Tax and other collections currently valid. The transfer of management In geothermal exploitation on as captioned in the ministerial’s decree of Energy and Mineral Resources No.667.K/11/Men/2002, the Director General’s of Geology and Mineral Resources No. 213.K/42.01/DJG/2002, stipulated that interposing service of geothermal covering permit/approval, recommendation to other institutions, supervision, evaluation carried out by each Directorate under the DGGMR.
In the Government’s regulation (PP) No.25/2000 about the Goverment and provincial’s policies as autonomos regional administration as stated on the draft of Geothermal Law that contibution fee will be 30 % for Central Government and 70 % for the Regionasl Government (40 % for the Provincial and 60 % for the Regency Goverments)

S A R I

Energi panas bumi yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan merupakan potensi yang besar yang dimiliki Indonesia, merupakan potensi panas bumi terbesar di dunia yaitu sekitar 40 % dari cadangan dunia atau sekitar 27 Gwe setara dengan 11 Milyard BOE untuk 30 tahun operasi. Pemanfaatan energi panas bumi untuk listrik saat ini masih 787 MWe sangat rendah yaitu sekitar 3-4 % dari total pemakaian kapasitas listrik di Indonesia.
Kebijakan umum energi nasional (KUBE) yang ditetapkan Pemerintah tahun 1998 terdiri dari lima strategi yaitu intensifikasi, diversifikasi, konservasi, indeksasi dan harga energi dimana terdiri dari Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (Riken, 1995) dan Rencana Induk Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (Ripebat, 1997). Selain itu terkait pula dengan kebijakan pengembangan ketenagalistrikan nasional sesuai dengan UU No. 20/2002 yang mengacu pada kebijakan otonomi daerah dalam UU No.22/1999, UU No.25/1999 dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom.
Keppres 76/2000 adalah perundang-undangan pengusahaan panas bumi sebagai pengganti Keppres No. 45/1991 dan Keppres No. 49/1991 tentang perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan pungutan lainnya yang berlaku saat ini. Dilanjutkan dengan pengalihan pengelolaan panas bumi yang diatur melalui Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No.667 K/11/MEM/2002. Selanjutnya diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal GSDM No. 213.K/42.01/DJG/2002 tentang pelayanan pengusahaan sumber daya panas bumi yang meliputi perizinan/persetujuan, rekomendasi kepada instansi lain, pengawasan, evaluasi yang dilakukan oleh masing-masing direktorat dilingkungan Direktorat Jenderal GSDM.
Dalam PP No.25 thn 2000 tentang “Kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom” dimana mengacu pada iuran pertambangan umum dimana Pusat 30%, Daerah 70 % (Propinsi 40% dan Kabupaten 60%), yang dituangkan dalam draf RUU Panas Bumi mengenai pendapatan daerah yang saat ini sedang dibahas oleh DPR.



1. PENDAHULUAN

Pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan (rendahnya emisi) melalui skema “Clean Development Mechanism” dari Protokol Kyoto memiliki arti penting yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan energi domestik khususnya daerah terpencil (remote area).

Ketersediaan energi merupakan komponen dasar yang sangat penting dalam pengembangan peradaban tata kehidupan manusia. Sejak kehidupan manusia purba yang masih sangat primitip sampai kehidupan modern yang sarat dengan teknologi tinggi akan lebih banyak menggunakan energi. Dalam perkembangan teknologi terutama bagi industri dan transportasi, pemakaian energi berubah dan berkembang pesat dari energi tradisional seperti kayu yang beralih dengan cepat kepada beberapa jenis energi yang bersifat tidak terbarukan seperti batubara, minyak dan gas bumi pada Abad 19. Kemudian mulai awal abad 20 dan memasuki abad ke 21 manusia mulai mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga air, tenaga samudra, tenaga angin, panas bumi, biomassa dan tenaga surya.

Di Indonesia perkembangan energi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis global, sebagai contoh pemakaian batubara sudah dikenal sejak jaman Belanda yang produksinya sempat mencuat sampai 2 juta ton/ tahun pada waktu Perang Dunia II. Namun setelah ditemukan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar maka pemakaian batubara melorot ketingkat produksi sangat rendah sekitar 100.000 ton pada tahun 1970. Namun kemudian sebagai dampak krisis energi yang terjadi tahun 1973 dan tahun 1980, Pemerintah menetapkan kebijakan umum energi nasional (KUBE) pada tahun 1982, dan direvisi tahun 1998 yang terdiri dari lima strategi yaitu intensifikasi, diversifikasi, konservasi, indeksasi dan harga energi dimana terdiri dari Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (Riken, 1995) dan Rencana Induk Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (Ripebat, 1997). Sejak lahirnya kebijakan tersebut tidak hanya minyak dan gas bumi terus ditingkatkan, akan tetapi batubara, gambut dan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan panas bumi dll mulai dikembangkan.

Data hasil penyelidikan yang dilakukan berbagai instansi dan perusahaan pada saat ini selain minyak dan gas bumi Indonesia mempunyai sumber daya energi primer yang cukup besar jumlahnya. Potensi sumber daya batubara sekitar 50 milyar ton yang merupakani negara penghasil batubara terbesar di Asia Tenggara sedangkan potensi panas bumi Indonesia adalah terbesar didunia yaitu sekitar 40 % cadangan dunia atau sekitar 27 Gwe setara dengan 11 Milyard BOE untuk 30 tahun operasi.

Kondisi saat ini di Indonesia pemanfaatan energi panas bumi untuk listrik masih 787 MWe atau masih 3-4 % dari total pemakaian kapasitas listrik di Indonesia.

Sejalan dengan isu lingkungan global bahwa telah terjadi peningkatan kandungan gas rumah kaca dalam atmosfir akibat pemakaian energi hidro karbon yang terus meningkat dalam industri dan transportasi serta rumah tangga. Hal ini dapat menyebabkan pemanasan global yang dampaknya sangat dikhawatirkan oleh ahli lingkungan dapat menimbulkan perubahan iklim yang sangat buruk pada kehidupan makhluk di muka bumi. Kekhawatiran ini diungkapkan pada KTT Bumi di Rio de Janaero tahun 1992 yang melahirkan Agenda 21 dan lebih dipertajam lagi pada KTT Bumi di Johanesburg tahun 2002 (World Summit on Sustainable Development-WSSD).

Menyadari akan hal ini maka setiap negara yang tergabung dalam keanggotaan PBB sepakat untuk mengurangi dampak lingkungan dari pemakaian energi hidro karbon. Sejalan dengan itu mulai pula melakukan upaya pengembangan sumber energi terbarukan yang relatif lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan energi fosil. Dalam hal ini panasbumi merupakan energi alternative terbarukan yang terbaik selain relative lebih bersih juga bersifat terbarukan dan tidak memerlukan lahan yang luas dalam pengembangannya.



2. KEBIJAKAN UMUM PENGEM-BANGAN PANAS BUMI

Perkembangan panasbumi di Indonesia mengalami pasang surut, antara lain akibat adanya kekurangpastian hukum bagi pengusaha disertai oleh krisis ekonomi yang mempengaruhi aspek komersial sehingga menambah resiko dalam berinvestasi. Faktor lainnya saat ini dalam pengembangan panas bumi yang merupakan padat modal yang mempengaruhi antara lain; keamanan (country risk), sistem pembayaran dalam rupiah (dimana nilai tukarnya mengikuti pasar), tarif dasar listrik (masih dibawah harga produksi), daya beli masyarakat yang rendah, kebijakan fiskal dan contract sancity yang konsistensi dan sanksi yang tegas.

Seperti disinggung diatas, pengembangan sumber daya panas bumi pada awalnya merupakan bagian dari pelaksanaan diversifikasi energi seperti digariskan oleh KUBE (1982, 1998). Selain itu terkait pula dengan kebijakan pengembangan ketenagalistrikan nasional sesuai dengan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan kemudian mengacu pada kebijakan otonomi daerah sesuai dengan UU No.22/1999, UU No.25/1999 dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom.

Peraturan dan perundangan yang khusus bagi panas bumi diawali dengan perundangan bagi minyak dan gas bumi seperti UU No. 44 Prp. Tahun 1960, UU No. 15 Tahun 1962, UU No. 8 Tahun 1971 yang diubah dengan UU No. 10 Tahun 1974, maka terbitlah Keppres No. 22/1981 dan Keppres No. 23/1981 dimana pengembangan sumber daya panas bumi di Indonesia dilakukan oleh Pertamina seperti di Kamojang dalam rangka pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Proyek ini selesai dibangun tahun 1983 dengan berhasil mendirikan PLTP dengan kapasitas 30 MWe. Implementasi prosedure dari Keppres No. 22/1981 dan Keppres No. 23/1981 adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 746/KMK.012/1981. Kemudian dengan terbitnya Keppres No. 45/1991 pengganti Keppres No. 22/1981 dan Keppres No. 49/1991 penganti Keppres No. 23/1981 dengan implementasi prosedure adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 766/KMK.04/1992 dimana Pertamina melakukan pengembangan dengan melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada beberapa wilayah prospek yang diikuti dengan dibukanya 1 Unit PLTP di Darajat oleh AMOSES dengan kapasitas 55 MWe dan G. Salak oleh UNOCAL berkapasitas 6 Unit PLTP masing-masing berkapasitas 55 Mwe pada tahun 1994 serta satu Unit berkapasitas 60 Mwe dibangun di G.Dieng. Sejalan itu dengan itu Pemerintah melalui Direktorat Vulkanologi terus melakukan penyelidikan dan eksplorasi untuk memperoleh sumber daya dan cadangan baru di seluruh wilayah Indonesia, dimana saat ini kegiatan ini berada dibawah Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral.

Berdasarkan pertimbangan di atas untuk meningkatkan peran panas bumi dalam energi-mix nasional terutama bagi penyediaan tenaga listrik, maka Pemerintah teleh menerbitkan Keppres 76/2000 sebagai pengganti Keppres No. 22/1981 yang telah diubah menjadi Keppres No. 45/1991 dan Keppres No. 49/1991 tentang perlakukan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan pungutan lainnya terhadap pelaksana Kuasa dan Izin Pengusahaan Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga Listrik. Dalam Keppres ini sumber daya panas bumi didefinisikan sebagai sumber daya alam terbarukan dan ramah lingkungan, yang tersimpan dalam lapisan kerak bumi, berasal dari pemanasan oleh magma terhadap fluida (air, uap, gas) dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Produk yang dihasilkan dari sumber daya panas bumi adalah energi, air dan mineral. Oleh sebab itu tidak hanya untuk tenaga listrik, energi panas bumi dapat juga dipakai untuk kepentingan langsung. Selanjutnya peraturan ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan eksplorasi, dapat dilakukan sampai tahapan cadangan terbukti (proven reserve). Pengembangan selanjutnya untuk tenaga listrik dilakukan oleh investor swasta secara kompetisi. Setidaknya peran pemerintah ini dimaksudkan untuk mengurangi risk investor.

Perubahan yang mendasar setelah terbitnya Keppres tersebut pengelolaan panas bumi sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan fungsi Pertamina di bidang panas bumi hanya sebagai suatu badan perusahaan kecuali bagi kontrak-kontrak yang sudah dan masih berjalan. Hal ini dipertegas lagi dengan terbitnya UU Minyak dan Gas Bumi No. 22/2001 bahwa setelah Badan Pelaksana terbentuk harus direstrukturisasi menjadi Pesero dimana fungsinya sama dengan perusahaan sejenis lainnya. Walaupun demikian UU tersebut belum dapat menampung kebijakan pengembangan panas bumi karena seperti tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum butir 2 panas bumi tidak termasuk sebagai Gas Bumi yang didefinisikan sebagai hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfir berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.

Sebagai tindak lanjut perubahan tersebut maka pengalihan pengelolaan panasbumi diatur melalui Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No.667 K/11/MEM/2002 , yang pada dasarnya menyatakan bahwa :

a. Tugas pengaturan, pembinaan dan pengawasan untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pengembangan sumber daya panas bumi diserahkan kepada Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral (DJGSM).
b. Tugas pengaturan, pembinaan dan pengawasan untuk kegiatan pembangkitan tenaga listrik Energi Panas Bumi diserahkan kepada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE).




3. PEMANFAATAN PANAS BUMI DALAM ERA OTONOMI DAERAH

3.1. Kewenangan Pengelolaan

Dalam kebijakan energi paling tidak terdapat 3 (tiga) aspek yang harus dipertimbangkan, pertama yaitu kelangsungan pasokan energi secara nasional karena energi merupakan komoditas strategis. Aspek kedua yaitu aspek pemanfaatan dan aspek ketiga adalah penyebaran sumber daya dan jenisnya. Ketiga aspek tersebut harus dilihat juga dalam kerangka lingkungan strategis yang berkembang dan sangat menentukan yaitu aspek lingkungan, demokratisasi/desentralisasi dan pasar bebas.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 yang dijabarkan lebih rinci dengan PP.No 25/2000, kebijakan pengembangan panas bumi terbagi menjadi dua sasaran. Apabila dikaitkan dengan grid listrik nasional maka seluruh rangkaian kegiatan pengembangan sumber daya panas bumi sampai dengan pembangunan PLTP menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral seperti diatur dalam Kepmen ESDM No. 667 K/11/MEM/2002 tersebut di atas. Akan tetapi apabila untuk kepentingan lokal baik untuk tenaga listrik maupun pemakaian langsung, maka kegiatan pengembangan tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota sesuai dengan kewenangan pada wilayahnya. Selanjutnya sebagai pelaksana Kepmen ESDM No. 667 K/11/MEM/2002 diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal GSDM No. 213.K/42.01/DJG/2002 tentang pelayanan pengusahaan sumber daya panas bumi yang meliputi perizinan/persetujuan, rekomendasi kepada instansi lain, pengawasan/evaluasi yang dilakukan oleh masing-masing direktur dilinkungan Direktorat Jenderal GSDM.

Selain hal diatas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang “Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom”, dalam bidang energi terdapat kewenangan Pemerintah Pusat antara lain penetapan kebijakan intensifikasi, diversifikasi, konservasi dan harga energi. Juga penetapan penyediaan dan tarif dasar listrik, bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan gas bumi didalam negeri serta penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, pengelolaan dan penyelenggaraan sumber daya alam 12 (dua belas) mil. Sedangkan kewenangan propinsi adalah penyediaan dukungan pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan energi serta pemberian izin usaha pemanfaatan panas bumi lintas kabupaten/kota.

Sebagai upaya mengisi kekosongan perundangan, pada awal 2002 DPR telah berinisiatip menyusun draft RUU Panas bumi yang sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan dengan semua pihak terkait.

3.2. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah


Perimbangan pendapatan antara Pemerintah pusat dengan Daerah dalam pengusahaan bidang panas bumi perlu dilihat pemanfaatan dari sumber daya panas bumi ini. Dalam penerimaan Pemerintah berupa pajak terdiri dari Net operating income dari pengusahaan bidang panas bumi terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax), Pajak Penghasilan (Sales Tax on Luxury Goods), Tax on Land and Buildings, Import Duty, Stamp Duty. Saat ini sumber daya panas bumi yang dimanfaatkan umumnya untuk kepentingan energi listrik, mengacu pada UU No. 25 th. 1999 tentang “Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah” serta PP No.25 thn 2000 tentang “Kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom” dimana mengacu pada iuran pertambangan umum dimana Pusat 30%, Daerah 70 % (Propinsi 40% dan Kabupaten 60%). Dalam RUU tentang Bab Penerimaan Negara telah mencantumkan perihal diatas. Sumber daya panas bumi yang dimanfaatkan langsung untuk keperluan wisata dan air panas, sepenuhnya milik daerah dan belum diatur dalam perundang-undangan.


4. KESIMPULAN

1. Pengembangan sumber daya panas bumi di Indonesia selain sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan diversifikasi sumber energi nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi di dalam negeri, telah didorong pula oleh isu global untuk mengurangi pencemaran udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca.

2. Walaupun belum secara khusus mempunyai Undang-Undang Panas bumi, pengembangan sumber daya panas bumi telah dimulai sejak tahun 1981 dengan penerbitan Keppres No. 22/1981 yang disusul beberapa Keppres lainnya termasuk yang terakhir Keppres No. 76/2000 yang telah memuat masukan dari Undang-Undang No. 25/1999 dan Peraturan Pemerintah No.25/2000. Kewenangan pengelolaan teknis pada saat ini baru diatur oleh Kepmen ESDM No. 667 K/11/MEM/2002 serta Kep. Dirjen GSDM No. 213.K/42.01/DJG/2002 tentang pelayanan pengusahaan sumber daya panas bumi yang meliputi perizinan/persetujuan, rekomendasi kepada instansi lain, pengawasan/evaluasi.
3. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pengelolaan panas bumi yang terkait dengan jaringan listrik nasional dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan apabila hanya untuk kepentingan pemanfaatan listrik lokal dan pemakaian langsung dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang pengaturannya harus segera dibuat.

4. Upaya penyusunan RUU Panas bumi sedang dilakukan oleh DPR dan pada saat ini masih dalam tahap pembahasan dengan sektor terkait.

5. Wacana RUU Pemanfaatan Energi sebagai regulasi payung dalam penyediaan dan pemanfaatan energi berkelanjutan sebagai wujud dari Kebijakan Umum Bidang Energi (1982, 1998) berupa Konsep Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Berkelanjutan (Wawas-an Energi Hijau-2020).
Selengkapnya...

BOOMING BATUBARA DALAM INDUSTRI TEKSTIL

Batubara merupakan salah satu sumberdaya energi yang dimiliki oleh Indonesia selain minyak bumi dan gas alam. Batubara sudah sejak lama digunakan, terutama untuk kegiatan produksi pada industri semen dan pembangkit listrik. Batubara sebagai energi alternatif mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga dapat menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM) dalam kegiatan produksi untuk industri tersebut. Apalagi beberapa tahun terakhir ini harga BBM terus mengalami kenaikan dan hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh pelaku ekonomi di Indonesia. Salah satu industri yang mengalami hal tersebut adalah industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, karena industri ini sangat tergantung pada bahan bakar solar atau residu untuk kegiatan produksinya. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya produksi, sehingga mempengaruhi pula harga penjualan produk. Sebagian dari mereka mengalami kebangkrutan kerena tidak mampu menutupi tingginya biaya produksi dan kalaupun mampu bertahan, mereka harus bersaing dengan produk-produk luar negeri, seperti Cina yang harganya jauh lebih murah. Dalam dua tahun terakhir ini telah terjadi perubahan penggunaan energi yang begitu cepat, dimana batubara mulai dilirik oleh industri tekstil sebagai bahan bakar dalam proses produksinya. Beberapa perusahaan di antaranya telah mulai beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dan hal ini ternyata sangat efektif dalam menekan biaya produksi. Untuk saat ini, pemasokan batubara ke beberapa industri tekstil masih tampak lancar. Akan tetapi, apabila seluruh perusahaan tekstil di Propinsi Jawa Barat telah menggunakan batubara, maka kelancaran pemasokan kebutuhan harus tetap terjaga ketersediaannya. Selain jaminan pemasokan batubara, sarana transportasi seperti jalan dan kendaraan sangat mempengaruhi kelancaran pengiriman batubara di masa mendatang sehingga harus diantisipasi sejak dini.
Potensi sumber daya batubara Indonesia diperkirakan mencapai 57,85 miliar ton. Jumlah tersebut terdiri dari 20,53 miliar ton dikategorikan sebagai yang terindikasi (indicated) dan 12,47 miliar ton termasuk kategori sumber daya yang terukur (measured). Sebanyak 6,98 miliar ton di antaranya termasuk ke dalam kategori cadangan (reserve) yang siap tambang (mineable).
Sekitar 52,15% cadangan batubara Indonesia tersebar di Kalimantan, 47,35% tersebar di Sumatera dan sisanya terdapat di Jawa, Sulawesi dan Papua, itupun masih termasuk kategori sumber daya (terukur dan terindikasi).


Industri Tekstil di Wilayah Bandung
Di Wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah, yaitu di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Di Kabupaten Bandung industri tekstil terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu wilayah timur (sepanjang Jalan Cileunyi–Cicalengka), wilayah tengah (sepanjang Jalan Mohammad Toha–Dayeuhkolot–Majalaya), dan wilayah barat (sekitar Nanjung dan Padalarang). Di Kota Cimahi, lokasi industri tekstil terkonsentrasi di sekitar Leuwigajah. Untuk wilayah Kota Bandung penyebaran industri tekstil berbeda dengan penyebaran dengan Kabupaten Bandung maupun Kota Cimahi. Di Kota Bandung, penyebarannya cenderung tidak terkonsentrasi dalam satu sentra.
Sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk boiler industri tekstil adalah bahan bakar minyak (solar atau residu) dan hanya sebagian kecil perusahaan yang sudah menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada boiler. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bandung, pada tahun 2003 di wilayah Bandung tercatat ada sebanyak 18 perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan kebutuhan sebesar 274.163 ton. Hingga tahun 2004, bertambah sebanyak 20 perusahaan tekstil yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk boilernya. Pemakaian batubara hingga bulan Juni tahun 2004 tercatat sebesar 245.364 ton. Tercatat 7 perusahaan yang paling banyak menggunakan batubara yaitu PT. Kahatex, PT. Panasia Filamen Inti, PT. Ayoe Taihotex, PT. Bintang Agung, PT. Central Georgete Nusantara, Dewasuteratex dan PT. Trisulatex.
Pemasokan batubara dan kendalanya
Batubara yang dikirim dari Kalimantan sebagian ditampung di tempat penyimpanan di sekitar pelabuhan Cirebon dan di seklitar jalan raya Losari dengan kapasitas yang bervariasi antara 3.000–5.000 ton. Lokasi ini berdekatan dengan gerbang tol Kanci sehingga mempermudah pengiriman batubara ke luar daerah. Pada saat ini, pasokan batubara ke pelabuhan Cirebon tercatat sebesar 150.000 ton per bulan.
Sebagian besar perusahaan tekstil membeli batubara secara langsung ke agen-agen penyedia batubara di wilayah Cirebon, harganya berkisar antara Rp.300.000– Rp.400.000 per ton sampai di tempat tujuan. Batubara itu sendiri sebagian besar di produksi oleh PT. Arutmin, PT. Adaro dan Koperasi Unit Desa, di Kalimantan Selatan dengan kualitas yang diterima di lokasi pemakai berkisar antara 5400-6600 kkal/kg. Untuk menjaga kelangsungan produksi tekstil, biasanya setiap perusahaan menyediakan batubara antara 40-500 ton untuk 2-12 hari jika musim penghujan tiba. Musim hujan tersebut berpengaruh langsung terhadap tingkat produksi batubara, baik dalam operasi penggalian maupun pengangkutannya di daerah tambang, sehingga pasokan dari tambang ke Cirebon sering mengalami keterlambatan. Selain itu juga seringa terjadi gangguan pada jalur pengangkutan batubara dari Cirebon ke pemasok, hingga ke konsumen (industri tekstil).
Padatnya jalur lalulintas Cirebon-Bandung merupakan faktor tambahan bagi keterlambatan pasokan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko gangguan pasokan dapat dilakukan melalui peningkatan cadangan dan pembangunan stockyard di wilayah Bandung dan sekitarnya. Stockyard tersebut harus mampu memasok semua konsumennya di wilayah Bandung dan sekitarnya. Keterlambatan pasokan dari lokasi tambang ke pelabuhan Cirebon pada musim hujan sekitar 2 minggu. Dengan demikian, cadangan di stockyard Bandung harus mampu menopang operasi boiler minimal selama 2 minggu. Jumlah minimal cadangan batubara di stockyard tersebut adalah 19.208 ton, untuk mengangkut batubara adalah truk dengan kapasitas 25-30 ton.
Pada umumnya industri tekstil yang telah memanfaatkan batubara tidak terlepas dari kekhawatiran mengenai pemasokan batubara dan masalah lingkungan. Jika di masa mendatang semua industri tekstil di Bandung menggunakan batubara maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan dalam pemasokan batubara dan juga transportasinya. Berkaitan dengan masalah lingkungan adalah abu dasar (bottom ash) dari hasil pembakaran batubara. Perusahaan mengalami kesulitan untuk membuang abu batubara tersebut mengingat tidak tersedianya lokasi-lokasi tempat pembuangan.
Rekayasa Jalur Transportasi Batubara
Dengan semakin padatnya jalur transportasi Cirebon, Sumedang, Bandung menyebabkan truk pengangkut batubara mengalami kesulitan dalam pengirimannya. Oleh karena itu, dicari beberapa jalur alternatif untuk menentukan jalur yang paling sesuai untuk dilalui :
1) Jalur Cirebon-Sumedang-Jalan Cagak-Bandung
Panjang jalur ini 156 Km melalui daerah pegunungan sehingga jalan yang dilalui berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan. Meskipun demikian, jalur dari Cirebon sampai Jalan Cagak dapat dilalui oleh truk tronton pengangkut batubara dengan mudah. Masalah terbesar adalah jalur Jalan Cagak sampai Bandung, karena jalur ini harus melalui tanjakan Emen, yaitu tanjakan terpanjang dan tertinggi yang membentang dari Ciater sampai simpang tiga ke arah Tangkuban Perahu. Truk tronton dengan muatan penuh 25 ton batubara tidak akan mampu melalui tanjakan ini. Oleh karena itu, jalur alternatif ini tidak dapat dipilih untuk menggantikan jalur yang telah ada.
2) Jalur Cirebon-Indramayu-Pamanukan-Subang-Bandung
Panjang jalur ini 207 Km, jauh lebih panjang dari jalur alternatif sebelumya. Jalur dari Cirebon–Indramayu–Pamanukan merupakan bagian dari jalur pantura, sehingga jalannya relatif datar dan luas. Demikian pula jalur dari Pamanukan–Subang relatif datar sehingga tronton dengan mudah melaluinya. Namun karena jalur yang tersisa yaitu Subang–Bandung harus melalui tanjakan Emen, maka tronton bermuatan penuh batubara tidak akan mampu melewatinya. Dengan demikian, jalur alternatif ini tidak layak untuk dipilih untuk menggantikan jalur yang telah ada.

3) Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung
Jalur ini jauh lebih panjang dari jalur yang telah ada, yaitu 231 Km. Pada jalur ini pengangkutan batubara tidak menggunakan truk tronton, namun menggunakan kereta api. Alternatif ini dimunculkan, karena selama ini telah tersedia jaringan rel kereta api antara Cirebon–Cikampek–Bandung. Bila jalur ini dapat digunakan, maka pengangkutan batubara akan menjadi lebih mudah. Pengangkutan batubara dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : batubara dari tongkang dibongkar ke atas truk, selanjutnya truk bergerak menuju stasiun kereta api di pelabuhan. Batubara dari atas truk dipindahkan ke atas gerbong, selanjutnya diangkut ke Bandung melalui Cikampek. Stasiun batubara yang dipilih di Bandung adalah stasiun Gedebage. Biaya pengiriman batubara dengan menggunakan kereta api melalui Cikampek sebesar Rp. 55.000,00 per ton.

4) Jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong
Jalur ini merupakan jalur transportasi terpanjang dengan menggunakan truk, yaitu 230 Km melalui jalur selatan. Jalur yang dilalui adalah dari Cirebon menuju Cikijing (Kab. Kuningan), terus ke arah Kawali (Kab. Ciamis) dan menuju ke Kota Ciamis sehingga menembus jalur selatan Jawa. Selanjutnya mengikuti jalur selatan ini menuju ke Bandung.
Selain panjang, jalur ini juga melewati daerah pebukitan dengan banyak kelokan dan tanjakan, terutama di daerah Panawangan (Kab. Ciamis), Malangbong (Kab. Garut), dan Nagreg (Kab. Bandung). Oleh karena itu waktu yang diperlukan menjadi lebih besar dari jalur Cirebon-Sumedang-Bandung yang panjangnya sekitar 128 Km dengan waktu tempuh 6 jam. Tranportasi lewat jalur selatan akan memerlukan waktu tempuh antara 10–12 jam, sehingga konsekuensi penggunaan jalur ini adalah meningkatnya waktu tempuh antara 4-6 jam dan biaya transportasi.
Harga batubara melalui jalur Selatan ini menjadi berkisar antara Rp. 300.000 - Rp 450.000 per ton, namun demikian harga ini masih tetap lebih ekonomis daripada harga BBM untuk operasi boiler tekstil.

5) Jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung
Analisis pada jalur ini didasarkan pada asumsi bahwa rencana pembangunan jalan tol Cileunyi–Cimalaka dapat segera diwujudkan. Oleh karena itu dengan melalui jalur ini, truk pengangkut batubara dapat memperkecil jarak angkut dari 128 Km menjadi 113 Km. Selain menghemat waktu dan jarak angkut, jalur ini tidak melewati dua titik rawan longsor di Sumedang, yaitu Cadas Pangeran dan Nyalindung. Di samping itu, juga tidak dijumpai tanjakan-tanjakan yang panjang dan tinggi, seperti Malangbong dan Emen, sehingga biaya transportasi batubara lewat jalur ini menjadi sekitar Rp 40.000,-/ton.
Dari ke lima jalur alternatif tersebut, ternyata hanya ada 3 jalur yang layak sebagai jalur transportasi pengiriman batubara, yaitu Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung, jalur Cirebon-Cikajang-kawali-Ciamis-Malangbong dan jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung.

Permasalahan Lain

Proses penyediaan dan pemanfaatan batubara untuk boiler dalam industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, bukanlah suatu hal yang mudah dan sederhana, sehingga memerlukan penanganan yang khusus mengingat berbagai hal yang dapat menimbulkan permasalahan. Berdasarkan hasil analisis di lapangan, terdapat beberapa permasalahan yang mungkin timbul mulai dari pemesanan hingga pengirimannya, antara lain :
 Kedatangan batubara di Pelabuhan Cirebon, akan menyebabkan terjadinya pembongkaran batubara. Jika telah banyak batubara yang dibutuhkan, maka bukan tidak mungkin kapal pengangkut batubara (tongkang) akan semakin banyak jumlahnya merapat di pelabuhan ini. Akibat dari peristiwa ini akan menyebabkan antrian dari tongkang-tongkang yang akan melakukan pembongkaran. Untuk menanggulangi kemungkinan tersebut, maka sebaiknya instansi yang terkait meningkatkan kapasitas bongkar dan meningkatkan kapasitas sandar pelabuhan.
 Terbatasnya jalur transportasi pengiriman batubara menyebabkan kemacetan/tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Penanganannya adalah dengan menyediakan jalur-jalur alternatif yang dapat memperlancar pengiriman batubara. Konsekuensi yang dihadapi adalah bertambahnya biaya pengangkutan.
 Keterbatasan lahan penyediaan batubara di setiap perusahaan tekstil menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dalam penyimpanannya. Salah satu alternatif penanggulannya adalah dengan membuat atau mendirikan sentra-sentra penyediaan batubara yang berdekatan dengan lokasi penyebaran industri tekstil.
 Meningkatnya permintaan batubara akan menyebabkan kesulitan dalam penyimpanannya. Penanggulannya adalah dengan menentukan lahan penyimpanan yang sesuai dengan lokasi penyebaran industri tekstil berdasarkan luas, lokasi serta memperhatikan masalah-masalah lingkungan.
 Kualitas batubara sangat berpengaruh terhadap daya tahan (life time) peralatan (boiler) yang digunakan. Konsekuensinya adalah kerusakan pada boiler dan penurunan kapasitas. Penanganannya adalah dengan memilih/membeli batubara sesuai dengan spesifikasinya.
 Proses pembakaran menjadi penyebab tingkat pencemaran udara (gas, debu dan abu). Konsekuensinya adalah melampaui kadar abu yang diijinkan (masalah lingkungan). Pananganannya dengan melakukan pengawasan yang ketat terjadap kegiatan industri tekstil oleh badan yang berwenang.
Triswan Suseno, Sujarwo dan Jafril
Penulis adalah Peneliti dan Perekayasa di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
Triswan@tekMIRA.esdm.go.id

Selengkapnya...